Oleh:
Ahmad F Ridha
(Praktisi Komunikasi Publik)
JAKARTA, SUARAKYAT — Kegaduhan diruang publik kembali dipertontonkan, kali ini terjadi terkait tanggapan atas penyataan Kepala BIN Budi Gunawan soal aura Presiden Jokowi pindah ke Prabowo Subianto.
Permasalahannya adalah faktor apakah yang melatarbelakangi kebisingan ini, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan sedikit analisa atas peristiwa tersebut.
Definisi dari AURA adalah energi atau frekuensi atau radiasi yang dimiliki oleh suatu benda yang bersifat memancar.
Jadi aura sebagai nama memiliki materi atau zat dan memiliki sifat memancar atau merambat. Adapun dalam geraknya, aura dpat dideteksi dari perilaku dari material aura tersebut
Pada mahluk hidup, aura tergantung pada kondisi kesehatan fisik, emosi, spiritual, reaksi terhadap keadaan sekitar dan terproyeksi kepada lingkungan di sekitarnya atau yang dituju oleh perasaan dan emosi yang sedang diakses.
Aura pada manusia dapat dirasakan pada perilaku, sikap, pandangan dari individu manusia tersebut.
Aura dalam kebudayaan, merupakan serapan atas bahasa Yunani yang berarti Emas. Sehingga dalam konteks aura yang memancar dari manusia dapat diterjemahkan sebagai sesuatu yang berkilauan seperti emas. Dalam kebudayaan Asia Tenggara khususnya di Jawa maka dapat diartikan aura ini adalah Pancer
Sehingga apabila kita mencoba menyelami pernyataan Kepala BIN Budi Gunawan soal aura Presiden Jokowi pindah ke Prabowo Subianto dapat kita pahami sebagai perilaku, sikap dan pandangan (visi) Jokowi yang terproyeksi kepada lingkungan sekitarnya, khususnya kepada Prabowo Subianto.
Hal ini merupakan sebuah pernyataan yang sangat wajar mengingat Prabowo Subianto saat ini adalah menteri /pembantu presiden dalam kabinet yang dipimpin oleh Jokowi. Artinya pernyataan Jokowi pada pelantikan menteri 23 Oktober 2019 “bahwa hanya ada satu visi, yaitu visi presiden” dalam pandangan Budi Gunawan, dimaknai dengan baik oleh Menhan Prabowo Subianto.
Beberapa pihak kemudian ada yang menanggapi bahwa pernyataan Budi Gunawan ini terkait dengan transisi kepemimpinan yang rencananya akan diadakan pada tahun 2024.
Menurut saya, pernyataan ini adalah terlalu dibuat-buat. Pertama, transisi putera mahkota atau Puteri Mahkota dalam budaya politik Indonesia sejak proklamasi tidak ada.
Kedua, secara historis tidak pernah ada kepemimpinan yang diwariskan. Sejak transisi dari Sukarno, Suharto (Habibie), Gusdur, Megawati, SBY, Joko Widodo.
Ketiga, secara kultural tidak pernah dikenal dalam budaya kepemimpinan yang namanya Aura Keprabon. Sesuatu itu berasal dari luar, dikenal istilah Wahyu Keprabon yang kemudian dalam UUD 1945 Wahyu Keprabon tersebut adalah GBHN dan dalam UUD amandemen Wahyu Keprabon tersebut adalah hasil dari Pemilihan Presiden
Kondisi ini dalam analisa komunikasi dapat digambarkan bahwa Budi Gunawan pengirim pesan dan audiens pada peristiwa tersebut sebagai penerima pesan. Lalu pihak-pihak yang sibuk menanggapi hingga kemudian menjadi kebisingan ini dalam komunikasi dapat diletakkan sebagai unsur “noise” dalam komunikasi.
Kembali pada pernyataan Presiden, dalam demokrasi terdapat hak untuk menyatakan pendapat. Namun perilaku Nyiyir tidak dapat disamakan sebagai hak menyatakan pendapat. Demikianlah budaya di Indonesia meletakkan HAM pada yang Adil dan Beradab.
M.A.S