Oleh : ZIkal Okta Syahtria
Kepala Sekretariat PP ISNU
Ketua Umum Geninusa
Jakarta, SUARAKYAT — Partai politik memiliki peran sentral dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden karena konstitusi dengan tegas mengatur pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden melalui partai politik. Ini sangat berbeda dengan Pilkada dimana konstitusi tidak mengatur harus menggunakan partai politik sebagai syarat pencalonan kepala daerah. Untuk itu kemudian, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan melalui Putusan No. 5/PUU-V/2007 dimana dimungkinkan untuk calon kepala daerah maju secara perseorangan tanpa melalui partai politik. Walaupun konstitusi mengatur mengenai pemilihan presiden secara langsung, konstitusi juga mengatur mekanisme pemberhentian presiden dan wakil presiden selama masa jabatannya.
Konstitusi memberikan ruang bagi pemberhentian presiden dan wakil presiden selama masa jabatan, namun ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Proses pemberhentian melewati empat tahap dengan melibatkan tiga lembaga negara yaitu DPR, MK, dan MPR. DPR mengajukan Sidang Istimewa pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengajuan permintaan DPR kepada MPR hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Dengan melihat Komposisi DPR pada periode 2004-2009, 2009-2014, 2014-2019, dan 2019-2024 didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah pemberhentian presiden sangat sulit untuk dilakukan.
Pada periode pemerintahan 2004-2009 koalisi pemerintah memiliki 75% dukungan di parlemen, sedangkan partai oposisi yaitu memiliki 25% dukungan. Namun, partai oposisi didominasi oleh PDIP yang memiliki kursi yang signifikan yaitu 109 kursi. Partai lain sebagai oposisi seperti PBR, PDS, PPDK, PPDI dan PNI Marhaenisme tidak begitu terlihat perannya karena memiliki kursi yang sangat kecil.
Pada periode pemerintahan 2009-2014 koalisi pemerintah memiliki 75% dukungan di parlemen, sedangan partai oposisi hanya mendapatkan 25%. Bahkan Partai Golkar yang semula mendukung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla –Wiranto justru masuk pada pemerintahan SBY –Boediono yang tidak lain adalah lawannya saat pilpres. Pada koalisi pemerintah tahun 2014-2019 terdapat 83% dukungan di parlemen sedangkan partai oposisi menyisakan 17%. Kenaikan jumlah dukungan parlemen pada koalisi pemerintah Jokowi –JK disebabkan berpindahnya Partai Golkar, PAN dan PPP yang semula sebagai pendukung pasangan calon Prabowo – Hatta.
Pada periode pemerintahan 2019-2024 koalisi pemerintah memiliki dukungan 82% sedangkan partai oposisi hanya menyisakan 18%. Besarnya koalisi partai pemerintah karena terjadinya perpindahan partai pendukung Prabowo – Sandi yaitu PAN dan Partai Gerindra. Perbandingan kursi yang tidak seimbang ini membuat pengawasan DPR terhadap pemerintah tumpul dan mereduksi budaya kritis parlemen.
Menurut Prof. Mahfud MD, salah satu kelemahan dari UUD Tahun 1945 sehingga harus dilakukan perubahan ialah karena tidak adanya mekanisme Checks and Balances. Kekuasaan eksekutif yang terlalu besar yang tanpa disertai dengan checks and balances yang memadai membuat terciptanya sistem executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden. Koalisi pemerintah yang tambun menyebabkan hilangnya daya kritis DPR di dalam melakukan fungsi-fungsi yang telah diberikan oleh UUD Tahun 1945 seperti fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ini dapat dipahami karena terjadinya barter kekuasaan antara koalisi di parlemen dengan jabatan di eksekutif seperti Menteri.
Dalam sistem demokrasi yang mulai tumbuh seperti Indonesia, berpindah haluannya partai yang semula berseberangan menjadi partai pendukung pemerintah sebagai suatu hal yang tidak sehat. Di satu sisi ini merupakan sikap tidak jujur partai kepada konstituennya dan disisi lain partai tidak siap untuk tidak berada di pusaran kekuasaan. Jumlah partai pendukung pemerintah mayoritas di parlemen membuat pemerintah selalu merasa aman dari bahaya pemakzulan. Alih-alih mengajukan pemakzulan justru DPR tak bergeming untuk bersikap kritis kepada pemerintah menggunakan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Di masa yang akan datang sangat perlu untuk membuat suatu undang-undang yang mengatur koalisi dan oposisi. Kedua bagian koalisi dan oposisi harus sama-sama diperhatikan dan dikuatkan sehingga tidak menimbulkan kesan yang satu lebih mulia dari pada yang lain.
Terdapatnya pasal pemberhentian presiden menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki presiden dan wakil presiden adalah dari rakyat oleh sebab itu rakyat dapat mengambilnya kembali, ini sangat berbeda dengan sebelum perubahan. Sebelum perubahan UUD Tahun 1945 tidak secara lengkap mengatur tentang mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. Pengaturan pemberhentian presiden diatur dalam Pasal 8 UUD Tahun 1945 dengan alasan jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya dan digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya. Tidak jelasnya mekanisme pemberhentian presiden bukan berarti presiden tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara.
Hal itu karena sistem pemerintahan menurut UUD Tahun 1945 menganut prinsip kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi ada pada MPR, maka presiden yang dipilih MPR, harus tunduk dan bertanggung jawab pada MPR. Logikanya, MPR setiap saat dapat memakzulkan presiden, manakala presiden tidak dapat mempertanggung jawabkan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara di hadapan MPR. Pelaksanaan pemberhentian presiden ini diperjelas dalam Ketatapan (Tap) MPR No. VI/MPR/1973, yang kemudian diubah dengan Tap MPR No.III/MPR/1978 tentang tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, Pasal 4 huruf c menyatakan presiden dapat diberhentikan apabila presiden memenuhi kategori sungguh-sungguh melanggar haluan negara, sehingga muncul kewajiban presiden yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu presiden wajib memberikan pertanggung jawaban di hadapan sidang Istimewa Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggung jawaban Presiden dalam pelaksanaan haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tiga saran kita sebagai rakyat:
1. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus aktif dalam mensukseskan perhelatan pemilu pada setiap pemilu yang dilaksanakan dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Memberikan suara pada setiap pemilu merupakan langkah rakyat untuk turut serta di dalam menciptakan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat.
2. Perubahan UUD Tahun 1945 menginginkan adanya pemurnian (purifikasi) terhadap penerapan terhadap sistem presidensial. Oleh karena itu, perlemen harus menggunakan fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasannya sebagaimana di atur dalam UUD Tahun 1945 sehingga terciptanya mekanisme checks and balances antara presiden dan parlemen.
3. Harus ada undang-undang yang mengatur hubungan koalisi pemerintah dengan partai oposisi. Agar mekanisme checks and balances dapat diterapkan secara optimal. Pembentukan undang-undang ini perlu agar partai yang pasangan calonnya kalah dalam pilpres tidak berpindah haluan untuk masuk ke pemerintahan. Di sisi lain akan membuat posisi partai koalisi pemerintah dan partai oposisi memiliki derajat yang setara dalam melaksanakan fungsi-fungsi parlemen.
Menarik bukan untuk didiskusikan?